ISLAM, ANTARA KESHALEHAN RITUAL DAN KESHALEHAN SOSIAL
Oleh: Mahbub Junaidi*)
Islam diturunkan ke bumi ini adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, rosululloh SAW membawa risalahnya dengan penuh kasih sayang. Islam mengajar kan kepada kita untuk hidup secara berimbang, antara duniawi dan ukhrowi.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari di masyarakat kita sering dibenturkan dengan persoalan yang mendasar dalam melaksanakan dakwah, kemiskinan dan keterting galan, kita sebagai seorang muslim harus pandai-pandai menyampaikan ajaran Islam secara proporsional di tengah-tengah masyarakat yang begitu komplek ini.
Sebuah pemahaman, yang dikatakan sholeh adalah orang yang tekun sholatnya, tidak pernah bolong puasanya ditambah dengan puasa-puasa sunnah, melaksana kan ibadah haji ke tanah suci berkali-kali, wiridannya selalu panjang, pemahaman agama (syariat) sangat mendalam. Pendek kata, keshalehan seseorang diukur de ngan serba legal formal sebagaimana kata ajaran. Dan biasanya, ada-ada saja orang yang merasa memiliki otoritas untuk menilai kadar keimanan seseorang. Ia menjadi semacam tim penilai dan pemeriksa keimanan orang lain.
Islam bukanlah agama yang hanya memikirkan diri sendiri. Orang yang paling sholeh pun tak berhak mengklaim/menentukan tingkat keshalehan seseorang. Dalam islam ada ibadah yang bersifat vertikal (sholat, puasa, haji) atau bisa disebut keshalehan ritual dan ada yang bersifat horisontal (zakat, shodaqoh) bisa disebut keshalehan sosial. Bukankah banyak hadits dan ayat-ayat suci Al Quran menekan kan perlunya keselarasan antara keshalehan ritual dan keshalehan sosial?.
Dakwah harus bisa mendiagnosa kondisi riil atau kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat. Seperti kondisi nyata bangsa indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dengan mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), masih ada seki tar 40 juta penduduk indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Program-pro gram pemerintah - raskin, JPS, Jamkesmas, Gakin, SKTM- yang digulirkan untuk mengatasi kemiskinan ini belum mampu mengatasi persoalan yang ada secara signifikan.
Maka kita dengan khusuk bersama-sama memikirkan bagaimana kemiskinan umat ini ditangani. Disamping kita mengajari mereka usholli harus dibarengi juga dengan mendampingi mereka untuk usaha. Suatu bentuk keshalehan yang tidak hanya ditandai dengan rukuk dan sujud saja, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam kehidupan sehari-hari yang diniatkan ibadah. Keselarasan antara ushalli dan usaha merupakan konsep ideal yang diajarkan islam untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat- kehidupan surgawi, yang diidam-idamkan oleh semua orang.
Kontek dakwah di dalam masjid, harus juga memikirkan di luar masjid sana yang selalu menunggu peran kita demi perubahan yang mereka harapkan, ekonomi lebih baik.
Konkritnya, di dalam masjid kita ‘suburkan’ ibadahnya, di sekitar-halaman kiri kanan-masjid harus bisa kita ‘suburkan’ juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seki tar masjid. Dalam Masjid kita makmurkan dengan shalat berjamaah 5 waktu, kajian-kajian agama, mendiskusikan persoalan-persoalan sosial umat . Di luar, halaman, masjid kita manfaatkan untuk usaha yang bisa dirasakan manfaatnya bagi jamaah secara langsung. Di dalam masjid kita ajari umat dengan ushalli, agar ibadahnya sesuai dengan tuntunan agama, Al Quran dan Al Hadits. Di luar masjid, umat kita ajari usaha, agar mereka meresa nikmat dalam beragama/ibadah karena adanya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrowi.
Banyak yang bisa kita lakukan untuk membantu umat mencari jalan keluar soal kemiskinan ini, semua dimulai dari hal terkecil, dimulai dari diri sendiri, dimulai saat ini juga.
Di Malang selatan, ada seorang dai muda, setiap hari selesai ngajar ngaji beliau sela lu mengantarkan anak-anak pulang ke rumah masing-masing yang jalannya licin. Setiap hari ketemu dengan orang tua santrinya. Melihat keadaan rumah dan kehidu pan wali santri tersebut, sang dai berkesimpulan, mengapa mereka sulit diajak shalat? Tidak mau memikirkan pendidikan bagi anak-anaknya?. Jawabnya, jangan kan mau shalat dan memikirkan pendidikan bagi anaknya, untuk memikirkan kehidu pan sehari-hari saja sulitnya bukan main sulitnya.
Saat ini sang dai terjun sendiri, siang malam, membenahi jalan yang beliau lalui tiap hari bersama santrinya tersebut agar tidak licin lagi. Begitu melihat sang dai yang mengajari anak-anak mereka, wali santri tanpa ada komando/perintah ikut terjun langsung membantu apa yang dilakukan oleh sang dai tersebut, memperbaiki jalan, demi kehidupan lebih baik bagi dirinya dan generasi selanjutnya.
Disamping itu, dai muda tersebut saat ini memberi contoh/memelopori bercocok tanam sayuran organik dengan menggunakan media polybag, untuk menjawab persoalan umat di daerah tersebut. Dengan program ini masyarakat semakin yakin dan mantab untuk menatap masa depan yang lebih menjanjikan. Ada beberapa keunggulan dengan program ini, masyarakat dididik untuk kreatif, inovatif, tidak konsumtip . Mereka sudah bisa merasakan betul, untuk menjadi maju tidak harus biaya mahal dan bisa mengurangi/menekan urbanisasi yang kadang membawa pengaruh negatif.
Kita, pendeknya, harus tampil ideal. Artinya, secara ritual kita harus shaleh, secara sosial kita juga harus shaleh juga. Maka betapapun berat dan pahitnya lahan dakwah yang kita hadapi, kita harus tetap tegar mengemban tugas mulia sebagai penyampai kebenaran, motor penggerak di garis terdepan menuju perubahan. Wallahu a’lam
Malang, 20 Oktober 2011
ISLAM, ANTARA KESHALEHAN RITUAL DAN KESHALEHAN SOSIAL
Oleh: Mahbub Junaidi*)
Islam diturunkan ke bumi ini adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, rosululloh SAW membawa risalahnya dengan penuh kasih sayang. Islam mengajar kan kepada kita untuk hidup secara berimbang, antara duniawi dan ukhrowi.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari di masyarakat kita sering dibenturkan dengan persoalan yang mendasar dalam melaksanakan dakwah, kemiskinan dan keterting galan, kita sebagai seorang muslim harus pandai-pandai menyampaikan ajaran Islam secara proporsional di tengah-tengah masyarakat yang begitu komplek ini.
Sebuah pemahaman, yang dikatakan sholeh adalah orang yang tekun sholatnya, tidak pernah bolong puasanya ditambah dengan puasa-puasa sunnah, melaksana kan ibadah haji ke tanah suci berkali-kali, wiridannya selalu panjang, pemahaman agama (syariat) sangat mendalam. Pendek kata, keshalehan seseorang diukur de ngan serba legal formal sebagaimana kata ajaran. Dan biasanya, ada-ada saja orang yang merasa memiliki otoritas untuk menilai kadar keimanan seseorang. Ia menjadi semacam tim penilai dan pemeriksa keimanan orang lain.
Islam bukanlah agama yang hanya memikirkan diri sendiri. Orang yang paling sholeh pun tak berhak mengklaim/menentukan tingkat keshalehan seseorang. Dalam islam ada ibadah yang bersifat vertikal (sholat, puasa, haji) atau bisa disebut keshalehan ritual dan ada yang bersifat horisontal (zakat, shodaqoh) bisa disebut keshalehan sosial. Bukankah banyak hadits dan ayat-ayat suci Al Quran menekan kan perlunya keselarasan antara keshalehan ritual dan keshalehan sosial?.
Dakwah harus bisa mendiagnosa kondisi riil atau kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat. Seperti kondisi nyata bangsa indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dengan mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), masih ada seki tar 40 juta penduduk indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Program-pro gram pemerintah - raskin, JPS, Jamkesmas, Gakin, SKTM- yang digulirkan untuk mengatasi kemiskinan ini belum mampu mengatasi persoalan yang ada secara signifikan.
Ternyata memang semuanya harus seimbang antara Usholli dengan Usaha
ReplyDelete