Wednesday, 26 October 2011

Ritual dan Sosial


DSC03946.JPGDSC03939.JPG
ISLAM, ANTARA KESHALEHAN RITUAL DAN KESHALEHAN SOSIAL
Oleh: Mahbub Junaidi*)

Islam  diturunkan  ke bumi ini  adalah   untuk  menjadi  rahmat  bagi  seluruh  alam, rosululloh SAW membawa risalahnya dengan penuh kasih sayang. Islam mengajar kan kepada kita untuk hidup secara berimbang, antara duniawi dan ukhrowi.
Dalam  kenyataan  hidup sehari-hari di masyarakat  kita sering dibenturkan dengan persoalan yang mendasar dalam melaksanakan dakwah, kemiskinan dan  keterting galan, kita  sebagai  seorang  muslim  harus  pandai-pandai  menyampaikan ajaran Islam secara proporsional di tengah-tengah masyarakat yang begitu komplek ini. 
Sebuah pemahaman, yang dikatakan  sholeh  adalah orang yang  tekun  sholatnya,  tidak pernah bolong  puasanya ditambah dengan puasa-puasa sunnah,  melaksana kan  ibadah haji ke  tanah suci  berkali-kali, wiridannya selalu panjang,  pemahaman agama (syariat) sangat mendalam. Pendek kata, keshalehan  seseorang  diukur   de ngan  serba  legal  formal  sebagaimana   kata  ajaran. Dan  biasanya,  ada-ada saja orang   yang  merasa  memiliki otoritas untuk  menilai kadar keimanan seseorang. Ia menjadi semacam tim penilai dan pemeriksa keimanan orang lain.
Islam  bukanlah  agama  yang  hanya  memikirkan  diri  sendiri. Orang  yang   paling sholeh pun tak berhak mengklaim/menentukan tingkat keshalehan seseorang. Dalam islam ada ibadah yang bersifat vertikal (sholat, puasa, haji) atau bisa disebut keshalehan ritual  dan ada yang bersifat horisontal (zakat, shodaqoh) bisa  disebut keshalehan sosial. Bukankah banyak hadits dan ayat-ayat suci Al Quran menekan kan perlunya keselarasan antara keshalehan ritual dan keshalehan sosial?.
Dakwah harus bisa mendiagnosa kondisi riil atau kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat. Seperti  kondisi  nyata bangsa  indonesia  yang  berada  di bawah garis kemiskinan. Dengan mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), masih ada seki tar 40 juta  penduduk  indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Program-pro gram  pemerintah - raskin, JPS, Jamkesmas, Gakin, SKTM-  yang  digulirkan  untuk mengatasi   kemiskinan   ini   belum  mampu mengatasi  persoalan yang  ada secara signifikan.
Maka kita dengan khusuk   bersama-sama memikirkan  bagaimana kemiskinan umat ini ditangani.  Disamping kita mengajari mereka usholli harus dibarengi juga dengan mendampingi  mereka  untuk  usaha.  Suatu bentuk  keshalehan  yang  tidak  hanya ditandai  dengan  rukuk dan  sujud saja, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam kehidupan sehari-hari  yang diniatkan ibadah.  Keselarasan antara ushalli dan usaha merupakan  konsep ideal yang  diajarkan islam untuk  mencapai  kebahagiaan dunia akhirat- kehidupan surgawi, yang diidam-idamkan oleh semua orang.
Kontek  dakwah  di dalam masjid, harus  juga  memikirkan   di luar masjid sana yang selalu  menunggu peran kita demi perubahan yang mereka harapkan,  ekonomi lebih baik.
Konkritnya, di dalam masjid kita ‘suburkan’ ibadahnya, di sekitar-halaman kiri kanan-masjid  harus  bisa kita ‘suburkan’ juga  untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seki tar masjid.  Dalam Masjid kita makmurkan dengan shalat berjamaah 5 waktu, kajian-kajian  agama, mendiskusikan  persoalan-persoalan  sosial umat .  Di luar, halaman, masjid  kita  manfaatkan  untuk  usaha yang bisa dirasakan manfaatnya bagi jamaah secara  langsung.  Di dalam  masjid  kita  ajari umat  dengan ushalli, agar ibadahnya sesuai  dengan  tuntunan agama, Al Quran dan Al Hadits.  Di luar masjid,   umat kita ajari usaha,  agar  mereka  meresa nikmat  dalam  beragama/ibadah  karena adanya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrowi.
Banyak  yang  bisa  kita  lakukan  untuk  membantu  umat  mencari  jalan keluar soal kemiskinan ini,  semua  dimulai  dari hal terkecil, dimulai dari diri sendiri, dimulai saat ini juga.
Di Malang selatan, ada seorang dai muda, setiap hari selesai ngajar ngaji beliau sela lu  mengantarkan  anak-anak  pulang  ke rumah  masing-masing  yang jalannya licin. Setiap  hari  ketemu dengan orang tua santrinya. Melihat keadaan rumah dan kehidu pan  wali  santri  tersebut,  sang  dai  berkesimpulan,  mengapa  mereka sulit   diajak shalat?   Tidak mau memikirkan  pendidikan bagi anak-anaknya?. Jawabnya, jangan kan mau shalat dan memikirkan pendidikan bagi anaknya,  untuk memikirkan kehidu pan sehari-hari saja sulitnya bukan main sulitnya.

Saat ini sang  dai terjun sendiri, siang malam, membenahi jalan yang beliau lalui tiap hari  bersama  santrinya  tersebut  agar tidak licin lagi.  Begitu melihat sang dai yang mengajari  anak-anak  mereka,  wali  santri tanpa ada  komando/perintah  ikut terjun langsung  membantu apa yang dilakukan oleh sang dai tersebut, memperbaiki jalan, demi kehidupan lebih baik bagi dirinya dan generasi selanjutnya.
Disamping itu,  dai muda  tersebut  saat  ini  memberi  contoh/memelopori   bercocok tanam  sayuran organik   dengan  menggunakan  media  polybag,   untuk menjawab persoalan  umat  di daerah  tersebut. Dengan program ini masyarakat semakin yakin dan  mantab  untuk  menatap  masa  depan  yang  lebih  menjanjikan. Ada beberapa keunggulan  dengan  program  ini,  masyarakat  dididik  untuk kreatif,  inovatif,   tidak konsumtip .  Mereka  sudah  bisa merasakan  betul,  untuk menjadi maju tidak harus biaya  mahal  dan  bisa  mengurangi/menekan  urbanisasi  yang  kadang  membawa pengaruh negatif.
Kita, pendeknya, harus tampil ideal. Artinya, secara  ritual kita harus shaleh,   secara sosial   kita  juga  harus  shaleh  juga.  Maka  betapapun  berat  dan  pahitnya  lahan dakwah yang kita hadapi, kita harus tetap tegar mengemban tugas mulia sebagai penyampai kebenaran, motor penggerak di garis terdepan menuju perubahan. Wallahu a’lam



Malang, 20 Oktober 2011

DSC03939.JPG

ISLAM, ANTARA KESHALEHAN RITUAL DAN KESHALEHAN SOSIAL
Oleh: Mahbub Junaidi*)

Islam  diturunkan  ke bumi ini  adalah   untuk  menjadi  rahmat  bagi  seluruh  alam, rosululloh SAW membawa risalahnya dengan penuh kasih sayang. Islam mengajar kan kepada kita untuk hidup secara berimbang, antara duniawi dan ukhrowi.
Dalam  kenyataan  hidup sehari-hari di masyarakat  kita sering dibenturkan dengan persoalan yang mendasar dalam melaksanakan dakwah, kemiskinan dan  keterting galan, kita  sebagai  seorang  muslim  harus  pandai-pandai  menyampaikan ajaran Islam secara proporsional di tengah-tengah masyarakat yang begitu komplek ini. 
Sebuah pemahaman, yang dikatakan  sholeh  adalah orang yang  tekun  sholatnya,  tidak pernah bolong  puasanya ditambah dengan puasa-puasa sunnah,  melaksana kan  ibadah haji ke  tanah suci  berkali-kali, wiridannya selalu panjang,  pemahaman agama (syariat) sangat mendalam. Pendek kata, keshalehan  seseorang  diukur   de ngan  serba  legal  formal  sebagaimana   kata  ajaran. Dan  biasanya,  ada-ada saja orang   yang  merasa  memiliki otoritas untuk  menilai kadar keimanan seseorang. Ia menjadi semacam tim penilai dan pemeriksa keimanan orang lain.
Islam  bukanlah  agama  yang  hanya  memikirkan  diri  sendiri. Orang  yang   paling sholeh pun tak berhak mengklaim/menentukan tingkat keshalehan seseorang. Dalam islam ada ibadah yang bersifat vertikal (sholat, puasa, haji) atau bisa disebut keshalehan ritual  dan ada yang bersifat horisontal (zakat, shodaqoh) bisa  disebut keshalehan sosial. Bukankah banyak hadits dan ayat-ayat suci Al Quran menekan kan perlunya keselarasan antara keshalehan ritual dan keshalehan sosial?.
Dakwah harus bisa mendiagnosa kondisi riil atau kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat. Seperti  kondisi  nyata bangsa  indonesia  yang  berada  di bawah garis kemiskinan. Dengan mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), masih ada seki tar 40 juta  penduduk  indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Program-pro gram  pemerintah - raskin, JPS, Jamkesmas, Gakin, SKTM-  yang  digulirkan  untuk mengatasi   kemiskinan   ini   belum  mampu mengatasi  persoalan yang  ada secara signifikan.

1 comment:

  1. Ternyata memang semuanya harus seimbang antara Usholli dengan Usaha

    ReplyDelete