Untuk kesekian kalinya Pasukan Lalar Gawe berangkat ke
Bajulmati. Idiom “Lalar Gawe” tercetus secara tiba-tiba ketika saya
berdialog bersama sahabat-sahabat pengabdi di Bajulmati. Dalam dialog
model cangkrukan itu tema yang dibahas hampir selalu berkaitan dengan
bagaimana menemukan solusi-solusi pemberdayaan terutama di bidang
pendidikan.
Malam itu hadir pula sejumlah mahasiswa (15 0rang) dari kota Malang. Kebetulan
bertepatan dengan malam tahun baru. Mereka datang ke Bajulmati untuk
mengumpulkan data terkait persoalan yang dihadapi warga dusun. Kekaguman
saya pada anak-anak muda ini tidak bisa saya tutup-tutupi.
“Di saat malam tahun baru, ketika hampir dipastikan sebagian besar kaum
muda larut dalam perayaan hura-hura, Anda justru memilih hadir di dusun
yang sepi. Saya salut dengan pilihan sikap Mas-Mas dan Mbak-Mbak ini.
Sejak tadi yang kita bicarakan adalah menemukan solusi pemberdayaan
pendidikan warga dusun Bajulmati agar anak-anaknya memperoleh pendidikan
yang layak. Menurut arus utama cara berpikir manusia modern Anda ini lalar gawe, ngapain peduli dan ngopeni
nasib masa depan orang lain. Sedangkan atas semua pekerjaan ini Anda
tidak memperoleh keuntungan materi sepeser pun. Di mata manusia modern
Anda adalah manusia-manusia bodoh, yang lalar gawe bekerja dengan satu kepastian: tidak menghasilkan uang bahkan harus mengeluarkan uang.”
Pasukan Lalar Gawe kali ini adalah sejumlah guru yang mengajar
di sebuah sekolah dasar swasta di Jombang. Sahabat-sahabat saya ini -
maaf - semuanya orang miskin. Gajinya kecil. Cicilan motor belum lunas.
Berangkat ke Bajulmati dengan biaya sendiri. Ada yang rela potong gaji.
Namun dari sikap yang peduli dan kesanggupan berbagi mereka adalah
manusia kaya raya dalam makna yang sesungguhnya.
Kondisi TK Tunas Harapan Goa Cina |
Guru-guru yang dipelopori oleh sahabat saya, Sayekti Puji Rahayu, akan
berbagi kepada para guru Harapan Bajulmati, wali murid, dan warga dusun
tiga puluh permain brain-gym, lima belas materi outbond, dan metode belajar membaca untuk anak-anak.
Antusias warga dan guru-guru Harapan Bajulmati sungguh luar biasa.
Mereka memenuhi ruang terbuka balai dusun. Mulai anak-anak pelajar
SMP-SMA, para pemuda, ibu-ibu dengan menggendong bayi, bapak-ibu yang
usianya cukup tua, duduk melingkar dalam satu jamaah kebersamaan.
Acara dimulai dengan sambutan pembuka dari Bapak Shohibul Izar.
“Bapak Ibu guru jauh-jauh datang dari Jombang saya yakin tidak mencari
uang di sini. Bahkan mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Di sebelah saya ini ada tumpukan modul yang berisi materi yang akan
kita kita pelajari bersama selama tiga hari. Semuanya gratis. Saya salut
dan sangat berterima kasih kepada Bapak Ibu guru yang rela berbagi ilmu
dan pengalaman untuk memajukan pendidikan di Bajulmati.”
Di tengah sambutannya Pak Izar juga menyampaikan bahwa di saat tertentu
kita adalah murid dari guru kita dan di saat yang lain, atau saat itu
juga, guru kita bisa menjadi murid. Agar mudah dipahami oleh warga
dusun, Pak Izar memakai istilah “guru yang murid, murid yang guru.”
“Misalnya kepada siswa TK Harapan,” ujar Pak Izar. “Mereka adalah murid
saya, dan di saat yang sama saya juga belajar kepada mereka. Siswa TK
Harapan adalah juga guru saya. Kepada anak-anak TK saya belajar
menemukan model belajar yang menyenangkan bagi mereka.”
Menikmati keasrian rumah salah satu pengabdi Harapan Bajulmati, Ust. Wagianto |
Mahbub Junaidi tidak ingin ketinggalan memberikan penjelasan terkait
guru yang murid, murid yang guru. Pak Mahbub lantas menyebut satu nama
warga yang hadir di balai dusun: Bapak Bugiman.
“Dalam hal mempelajari cara cepat bisa membaca untuk anak-anak, malam
ini Pak Bugiman adalah murid sahabat-sahabat saya dari Jombang. Namun
besok pagi, saat Bapak Ibu guru dari Jombang menyusuri sungai Bajulmati,
mereka akan menjadi murid Pak Bugiman. Demi kelancaran dan keselamatan
selama susur sungai, Bapak Ibu guru dari Jombang akan mengikuti panduan
dan arahan Pak Bugiman karena beliau pakar dalam mengenal watak alam
dusun Bajulmati. Pada saat itu Pak Bugiman menjadi guru kita,” papar
Mahbub Junaidi.
Waktu itu istilah guru yang murid, murid yang guru tidak mengusik saya.
Sikap rendah hati dari sosok Pak Izar dan Pak Mahbub saja hingga istilah
itu diungkapan, demikian pikir saya.
Menikmati Wisata Sususr Sungai bersama Lepen Bajulmati Adventure |
Dan untuk kesekian kalinya pengalaman berbagi di dusun Bajulmati bagi
saya seperti pintu masuk menuju ruang kesadaran yang terus tumbuh
mengakar. Bagaimana tidak? Istilah “guru yang murid” dan “murid yang
guru” saya temukan dalam tulisan J. Sumardianta yang mengulas
gagasan-gagasan Paulo Freire (1921-1997, ahli pendidikan dari Brasilia.
Gagasan-gagasan Paulo Freire, yang dilambari semangat pembebasan dan
kesadaran kritis dengan pendekatan emansipatoris (menyantuni dan
berbelas kasih kepada peserta didik) dan metode partisipatoris
(penempatan peserta didik sebagai subjek dalam kegiatan belajar,
tersebar dalam Padagogy of The Oppressed (1971), Pedagogy in Process (1978), dan beberapa buku lainnya.
Menurut Paulo Freire sekolah terlalu sibuk mengurusi kotoran ketimbang
memberdayakan guru dan murid. Ia lantas mengajukan alternatif kegiatan
belajar dialogis dengan langgam hadap masalah. Guru tidak lagi
memperlakukan muridnya sebagai bejana kosong (empty vessel)
yang mesti dijejali dengan berbagai pengetahuan kognitif. Guru dan para
muridnya secara bersama-sama duduk semeja mengkaji keprihatinan hidup
sehari-hari. Keduanya secara komplementer melakukan kegiatan belajar.
Guru bukanlah makhkluk yang maha tahu. Dan, otak murid yang sebenarnya
sudah tumpat pedat tidak perlu dijejali dengan pengetahuan hafalan.
Dari sini Paulo Freire memunculkan istilah unik: “guru yang murid” dan
“murid yang guru”. Istilah ini digunakan untuk menegaskan bahwa baik
guru maupun murid memiliki potensi pengetahuan, penghayatan, dan
pengalaman sendiri-sendiri terhadap yang mereka pelajari. Bisa jadi
suatu saat murid menyajikan pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman
sebagai suatu kilatan cahaya hikmah bagi sang guru.
Kepada beberapa teman saya berseloroh, mungkin Paulo Freire pernah
singgah di Bajulmati sehingga ada pertemuan antara gagasan dan realita
pemberdayaan pendidikan di sana. Saya juga tidak tahu pasti dari mana
Pak Izar dan Pak Mahbub menemukan istilah unik itu. Satu hal yang saya
alami di dusun terpencil dengan akses informasi yang sulit itu, gagasan
Paulo Freire menemukan wujudnya di Bajulmati. []
No comments:
Post a Comment