Pong Sahidy, Penulis Buku Jam Kosong
01 September 2013
Adalah kondisi Taman Kanak-Kanak Tunas Harapan dan Gua Cina di dusun
Bajulmati Kec. Gedangan Kab. Malang menjadi pemantik keluarnya
pernyataan spontan: ini sekolah apa kandang ayam. Bagaimana tidak? TK
Tunas Harapan terletak di atas bukit. Kondisinya - menirukan pendapat
seorang teman yang baru pertama kali berkunjung ke Bajulmati - seperti
kandang ayam. Terkesan darurat dan apa adanya. Kondisi ini sudah jauh
lebih baik dari sejak pertama kali TK ini dirintis.
Di tengah padatnya kegiatan homestay di dusun Bajulmati, siswa
kelas 6 pun diajak berkunjung ke TK Gunung ini agar mereka menyaksikan
sendiri ada sekolah “darurat” di negara Indonesia merdeka.
Di bawah rindang pepohonan tanya jawab berlangsung.
“Mengapa sekolahnya diletakkan di atas gunung?”
“Kok dindingnya dari kawat?”
“Mengapa mainan ayunannya cuma satu?”
Atas beragam pertanyaan itu, Pak Mahbub Junaidi, salah seorang perintis
pendidikan di Bajulmati menjelaskan, TK Tunas Harapan dipindah ke atas
gunung setelah terjadi banjir besar melanda dusun Bajulmati. Keselamatan
siswa menjadi pertimbangan utama.
Pertama kali berdiri TK Tunas Harapan memiliki enam siswa. Kegiatan
belajar dilakukan di kediaman Bapak Shohibul Izar. Dengan hanya satu
papan tulis usang Pak Izar dan Pak Mahbub nekat melayani pendidikan
anak-anak usia TK. Atas keterlibatan warga yang mulai peduli karena
merasakan manfaat keberadaan TK Tunas Harapan, beberapa fasilitas
sederhana mulai terpenuhi.
Para dermawan dari luar Bajulmati yang peduli juga turut andil
memberdayakan pendidikan. Kawat yang menjadi dinding TK Tunas Harapan
adalah sumbangan seorang dosen di kota Malang. Kelompok pengajian
ibu-ibu kota Malang juga berbagi kebahagiaan bersama bocah-bocah dusun.
Mainan ayunan di TK Gua Cina adalah wujud kepedulian ibu-ibu itu.
Hingga kini kedua pengabdi, Pak Izar dan Pak Mahbub, belum memiliki
rumah di Bajulmati. “Jadi, selama hampir dua puluh tahun saya dan Pak
Izar tidak memiliki rumah pribadi di sini. Semuanya bisa berjalan berkat
kepedulian warga,” ungkap Mahbub Junaidi.
Menjawab pertanyaan salah satu anak, mengapa selalu ada kata Harapan di
setiap nama sekolah, Pak Mahbub Junaidi menjelaskan bahwa bocah-bocah di
Bajulmati harus tetap punya semangat dan harapan. Dusun yang terpencil
ini harus bangkit. Caranya adalah dengan memberdayakan diri sendiri.
Oleh karena itu, harapan dan cita-cita harus selalu menyala di dada
setiap bocah Bajulmati. Dan lahirlah sekolah komunitas model orang dusun
di Bajulmati.
Harapan itu dirintis dan diwujudkan dengan memberdayakan diri melalui
pendidikan. Alam dusun Bajulmati adalah wujud kasih sayang Tuhan.
Pendidikan merupakan realisasi tanggung jawab manusia atas kasih sayang
Tuhan dengan mengolah kekayaan alam dan memanifestakan sifat-sifat Tuhan
dalam kehidupan nyata.
Harapan yang selalu menyala itu diaktualisasikan dalam sikap mengabdi
dan melayani. Dibutuhkan stamina perjuangan yang cukup panjang untuk
mewujudkan perubahan. Kuncinya adalah kesanggupan menikmati proses
melayani pada setiap hitungan detik, menit, jam, hari hingga tahun. Dari
figur kakak beradik itu, Bapak Shohubul Izar dan Bapak Mahbub Junaidi,
anak-anak serta guru pendamping SD Islam Roushon Fikr belajar sekaligus
menyerap energi pengabdian yang tulus.
Hingga kini TK Tunas Harapan berada di atas gunung dan dikenal dengan TK
Gunung. Dihidupi dan disengkuyung oleh warga dusun Bajulmati taman
kanak-kanak ini melayani bocah-bocah dusun. Dikepalai oleh Bapak
Sriyanto, anak muda yang peduli terhadap nasih masa depan pendidikan di
dusunnya, TK Tunas Harapan setapak demi setapak meraih asa di tengah
keterbatasan yang ada. Bekal mereka cuma satu tekad: bangkit dan
berdaya.
Perjalanan anak-anak dilanjutkan ke TK Gua Cina. Nama TK ini diambil
dari lokasi jalan yang menuju pantai Gua Cina. Wisatawan yang hendak
menuju pantai Gua Cina akan lewat depan taman kanak-kanak yang pernah
diminati Trans TV untuk tayang di acara Pengabdian.
Perjuangan mendirikan sekolah ini tidaklah mudah. Dalam salah satu
adegan Pengabdian Trans TV, sekolah ini dibakar oleh orang entah siapa
dia. Pak Izar membenarkan adegan itu. Fakta dalam kejadian itu pernah
benar terjadi. Dan sejuta tantangan dan pengorbanan yang lebih
“sengsara” tersimpan erat dalam memori setiap pejuang dan pengabdi di
Bajulmati.
Tiba di sana siswa kelas 6 SD Islam Roushon Fikr pun menyaksikan sekolah
berlantai tanah, dinding setengah terbuka, dan “ruang pertemuan” yang
luasnya hanya 2X4 m. Di benak anak-anak tak terbayangkan sekolah dengan
bangunan dan fasilitas yang serba “miskin”.
“Kasihan anak-anak TK. Sekolahnya tidak terawat kayak gini,”
ungkap Nandia. “Tapi saya bangga dengan mereka. Di tengah keterbatasan
fasilitas, guru-guru dan siswanya tetap belajar dengan semangat.”
Mendengar penuturan Nandia hati saya bergetar. Kalimat bocah perempuan usia 12 tahun ini menampar saya. Special moment ini meruntuhkan mental block yang
selama ini selalu menjadi pembenaran: bagaimana sekolah dapat maju jika
fasilitasnya serba terbatas. Pembenaran yang selama ini membenam di
alam bahwa sadar ambrol oleh pengalaman nyata menyaksikan jerih payah
sahabat-sahabat pengabdi memajukan pendidikan di Bajulmati. Keterbatasan
fasilitas bukanlah penghalang tekad untuk maju meraih harapan.
Anak-anak adalah guru ruhani terbaik bagi orang dewasa. Kalimatnya
jernih. Tanpa tendensi dan tiada pamrih. Mereka jujur mengungkap fakta
dan menangkap hikmah. Shinta menuturkan hal itu dengan gamblang.
“Di Bajulmati kita diajari rasa bersyukur. Teman-teman dan
saudara-saudara kita di Bajulmati keadaannya lebih parah dari kita yang
ada di Jombang. Jadi, kita harus pandai bersyukur.”
Subhaanallah. Kebenaran bagai embun pagi yang menetes dari
kelopak muda daun-daun cantik di taman jiwa. Anak-anak kita setiap saat
meneteskan embun kejernihan tiada tara dari bening jiwa mereka. Tuhan
menghadirkan momen kunci (special moment) melalui perilaku dan
kata-kata anak-anak kita. Hanya hati sebening kaca yang sigap menangkap
dentingan mutiara kebenaran yang meluncur dari bibir mungil itu.
Di Bajulmati kasih sayang Allah hadir begitu nyata. []
No comments:
Post a Comment