Tuesday 29 October 2013

Monday 28 October 2013

Sekolah Alam Model Orang Bajulmati Malang Selatan

Tempatnya di atas bukit pinggiran hutan Bajulmati, tidak menyurutkan para guru TK Harapan untuk mendedikasikan dirinya demi sebuah generasi yang bisa dibanggakan di masa yang akan datang, walau mereka minim gaji, tapi semangat mereka tak bisa diragukan dalam membina generasi bangsa ini. Dengan ruang kelas yang seadanya, proses belajar mengajar tetap berjalan dengan normal dan menyenangkan bagi guru dan murid TK Harapan Bajulmati
Ruang kelas TK Harapan yang hanya di batasi dengan kawat/tanpa dinding

"Keterbatasan kami adalah kelebihan kami", begitu ungkapan Mahbub Junaidi, pengelola Lembaga Pendidikan Harapan Bajulmati Malang Selatan. Tidak berlebihan bila ungkapan tersebut terlontar dari pemaparan Mahbub Junaidi saat menerima rombongan Guru-guru TK/RA Gugus 3 Kecamatan Sukun Kota Malang, yang menyempatkan berkunjung ke Bajulmati untuk memberikan bantuan Alat Peraga Edukasi [APE] kepada TK Harapan Bajulmati pada hari Sabtu, 26 Oktober 2013. Bersama 40  orang guru-guru TK/RA Gugus 3 Kecamatan Sukun Kota Malang melihat secara langsung unit-unit pendidikan di Bajulmati yang semuanya ada embel-embel Harapan, PAUD Bina Harapan Bajumati, TK Harapan Bajulmati, TK Tunas Harapan Goa Cina - Sitiarjo Sumbermanjing Wetan.
 
Menjawab pertanyaan dari para ibu guru TK/RA Gugus 3 Kecamatan Sukun Kota Malang, mengapa selalu ada kata Harapan di setiap nama sekolah, Pak Mahbub Junaidi menjelaskan bahwa bocah-bocah di Bajulmati harus tetap punya semangat dan harapan. Dusun yang terpencil ini harus bangkit. Caranya adalah dengan memberdayakan diri sendiri. Oleh karena itu, harapan dan cita-cita harus selalu menyala di dada setiap bocah Bajulmati. Dan lahirlah sekolah komunitas model orang dusun di Bajulmati.
Rombongan Guru-guru TK/RA Gugus 3 Kec. Sukun Kota Malang menaiki Bukit menuju TK Harapan
 Dalam kesempatan tersebut diadakan dialog untuk saling berbagi pengalaman dalam mengelola lembaga pendidikan di masing-masing lembaganya.

Pemberian Cindera Mata dari  Gugus 3 Kec. Sukun Kepada TK Harapan Bajulmati yang diterima langsung oleh Pengurus TK Harapan

Rombongan Guru-guru TK/RA Gugus 3 Kec.Sukun Kota Malang saat berkunjung di PAUD Bina Harapan dab Rumah Pintar Griya Harapan


Berkunjung ke Sekolah Komunitas Harapan di Bajulmati Malang

Pada hari Sabtu, 26 Oktober 2013 rombongan dari guru-guru TK/RA Gugus 3 Kec. Sukun Kota Malang mengadakan kunjungan ke Sekolah Komunitas Harapan Bajulmati Gedangan Kabupaten Malang, rombongan yang berjumlah 40 orang guru TK/RA masuk di dusun Bajulmati pada pukul 10.00 dan langsung menuju  ke puncak bukit, tempat TK Harapan berada. Mereka langsung diterima oleh kepala sekolah TK Harapan, Bapak Srianto bersama para dewan guru dan pengurus Yayasan Pendidikan Harapan Bajulmati
Rombongan Guru-guru TK/RA Gugus 3 Kec. Sukun Kota Malang menuju puncak, TK Harapan Bajulmati






Friday 18 October 2013

Sekolah Darurat di Negara Indonesia Merdeka

Pong Sahidy, Penulis Buku Jam Kosong
  01 September 2013


Adalah kondisi Taman Kanak-Kanak Tunas Harapan dan Gua Cina di dusun Bajulmati Kec. Gedangan Kab. Malang menjadi pemantik keluarnya pernyataan spontan: ini sekolah apa kandang ayam. Bagaimana tidak? TK Tunas Harapan terletak di atas bukit. Kondisinya - menirukan pendapat seorang teman yang baru pertama kali berkunjung ke Bajulmati - seperti kandang ayam. Terkesan darurat dan apa adanya. Kondisi ini sudah jauh lebih baik dari sejak pertama kali TK ini dirintis.

Di tengah padatnya kegiatan homestay di dusun Bajulmati, siswa kelas 6 pun diajak berkunjung ke TK Gunung ini agar mereka menyaksikan sendiri ada sekolah “darurat” di negara Indonesia merdeka.
Di bawah rindang pepohonan tanya jawab berlangsung.
“Mengapa sekolahnya diletakkan di atas gunung?”
“Kok dindingnya dari kawat?”
“Mengapa mainan ayunannya cuma satu?”

Atas beragam pertanyaan itu, Pak Mahbub Junaidi, salah seorang perintis pendidikan di Bajulmati menjelaskan, TK Tunas Harapan dipindah ke atas gunung setelah terjadi banjir besar melanda dusun Bajulmati. Keselamatan siswa menjadi pertimbangan utama.

Pertama kali berdiri TK Tunas Harapan memiliki enam siswa. Kegiatan belajar dilakukan di kediaman Bapak Shohibul Izar. Dengan hanya satu papan tulis usang Pak Izar dan Pak Mahbub nekat melayani pendidikan anak-anak usia TK. Atas keterlibatan warga yang mulai peduli karena merasakan manfaat keberadaan TK Tunas Harapan, beberapa fasilitas sederhana mulai terpenuhi.

Para dermawan dari luar Bajulmati yang peduli juga turut andil memberdayakan pendidikan. Kawat yang menjadi dinding TK Tunas Harapan adalah sumbangan seorang dosen di kota Malang. Kelompok pengajian ibu-ibu kota Malang juga berbagi kebahagiaan bersama bocah-bocah dusun. Mainan ayunan di TK Gua Cina adalah wujud kepedulian ibu-ibu itu.

Hingga kini kedua pengabdi, Pak Izar dan Pak Mahbub, belum memiliki rumah di Bajulmati. “Jadi, selama hampir dua puluh tahun saya dan Pak Izar tidak memiliki rumah pribadi di sini. Semuanya bisa berjalan berkat kepedulian warga,” ungkap  Mahbub Junaidi.
Menjawab pertanyaan salah satu anak, mengapa selalu ada kata Harapan di setiap nama sekolah, Pak Mahbub Junaidi menjelaskan bahwa bocah-bocah di Bajulmati harus tetap punya semangat dan harapan. Dusun yang terpencil ini harus bangkit. Caranya adalah dengan memberdayakan diri sendiri. Oleh karena itu, harapan dan cita-cita harus selalu menyala di dada setiap bocah Bajulmati. Dan lahirlah sekolah komunitas model orang dusun di Bajulmati.

Harapan itu dirintis dan diwujudkan dengan memberdayakan diri melalui pendidikan. Alam dusun Bajulmati adalah wujud kasih sayang Tuhan. Pendidikan merupakan realisasi tanggung jawab manusia atas kasih sayang Tuhan dengan mengolah kekayaan alam dan memanifestakan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan nyata.

Harapan yang selalu menyala itu diaktualisasikan dalam sikap mengabdi dan melayani. Dibutuhkan stamina perjuangan yang cukup panjang untuk mewujudkan perubahan. Kuncinya adalah kesanggupan menikmati proses melayani pada setiap hitungan detik, menit, jam, hari hingga tahun. Dari figur kakak beradik itu, Bapak Shohubul Izar dan Bapak Mahbub Junaidi, anak-anak serta guru pendamping SD Islam Roushon Fikr belajar sekaligus menyerap energi pengabdian yang tulus.

Hingga kini TK Tunas Harapan berada di atas gunung dan dikenal dengan TK Gunung. Dihidupi dan disengkuyung oleh warga dusun Bajulmati taman kanak-kanak ini melayani bocah-bocah dusun. Dikepalai oleh Bapak Sriyanto, anak muda yang peduli terhadap nasih masa depan pendidikan di dusunnya, TK Tunas Harapan setapak demi setapak meraih asa di tengah keterbatasan yang ada. Bekal mereka cuma satu tekad: bangkit dan berdaya.

Perjalanan anak-anak dilanjutkan ke TK Gua Cina. Nama TK ini diambil dari lokasi jalan yang menuju pantai Gua Cina. Wisatawan yang hendak menuju pantai Gua Cina akan lewat depan taman kanak-kanak yang pernah diminati Trans TV untuk tayang di acara Pengabdian.

Perjuangan mendirikan sekolah ini tidaklah mudah.  Dalam salah satu adegan Pengabdian Trans TV, sekolah ini dibakar oleh orang entah siapa dia. Pak Izar membenarkan adegan itu. Fakta dalam kejadian itu pernah benar terjadi. Dan sejuta tantangan dan pengorbanan yang lebih “sengsara” tersimpan erat dalam memori setiap pejuang dan pengabdi di Bajulmati.

Tiba di sana siswa kelas 6 SD Islam Roushon Fikr pun menyaksikan sekolah berlantai tanah, dinding setengah terbuka, dan “ruang pertemuan” yang luasnya hanya 2X4 m. Di benak anak-anak tak terbayangkan sekolah dengan bangunan dan fasilitas yang serba “miskin”.

“Kasihan anak-anak TK. Sekolahnya tidak terawat kayak gini,” ungkap Nandia. “Tapi saya bangga dengan mereka. Di tengah keterbatasan fasilitas, guru-guru dan siswanya tetap belajar dengan semangat.”
Mendengar penuturan Nandia hati saya bergetar. Kalimat bocah perempuan usia 12 tahun ini menampar saya. Special moment ini meruntuhkan mental block yang selama ini selalu menjadi pembenaran: bagaimana sekolah dapat maju jika fasilitasnya serba terbatas. Pembenaran yang selama ini membenam di alam bahwa sadar ambrol oleh pengalaman nyata menyaksikan jerih payah sahabat-sahabat pengabdi memajukan pendidikan di Bajulmati. Keterbatasan fasilitas bukanlah penghalang tekad untuk maju meraih harapan.
Anak-anak adalah guru ruhani terbaik bagi orang dewasa. Kalimatnya jernih. Tanpa tendensi dan tiada pamrih. Mereka jujur mengungkap fakta dan menangkap hikmah. Shinta menuturkan hal itu dengan gamblang.

“Di Bajulmati kita diajari rasa bersyukur. Teman-teman dan saudara-saudara kita di Bajulmati keadaannya lebih parah dari kita yang ada di Jombang. Jadi, kita harus pandai bersyukur.”
Subhaanallah. Kebenaran bagai embun pagi yang menetes dari kelopak muda daun-daun cantik di taman jiwa. Anak-anak kita setiap saat meneteskan embun kejernihan tiada tara dari bening jiwa mereka. Tuhan menghadirkan momen kunci (special moment) melalui perilaku dan kata-kata anak-anak kita. Hanya hati sebening kaca yang sigap menangkap dentingan mutiara kebenaran yang meluncur dari bibir mungil itu.
Di Bajulmati kasih sayang Allah hadir begitu nyata. []

Paulo Freire Singgah di Dusun Bajulmati

Pong Sahidy

23 August 2013 15:02




Untuk kesekian kalinya Pasukan Lalar Gawe berangkat ke Bajulmati. Idiom “Lalar Gawe” tercetus secara tiba-tiba ketika saya berdialog bersama sahabat-sahabat pengabdi di Bajulmati. Dalam dialog model cangkrukan itu tema yang dibahas hampir selalu berkaitan dengan bagaimana menemukan solusi-solusi pemberdayaan terutama di bidang pendidikan.

Malam itu hadir pula sejumlah mahasiswa (15 0rang) dari kota Malang. Kebetulan bertepatan dengan malam tahun baru. Mereka datang ke Bajulmati untuk mengumpulkan data terkait persoalan yang dihadapi warga dusun. Kekaguman saya pada anak-anak muda ini tidak bisa saya tutup-tutupi.

“Di saat malam tahun baru, ketika hampir dipastikan sebagian besar kaum muda larut dalam perayaan hura-hura, Anda justru memilih hadir di dusun yang sepi. Saya salut dengan pilihan sikap Mas-Mas dan Mbak-Mbak ini. Sejak tadi yang kita bicarakan adalah menemukan solusi pemberdayaan pendidikan warga dusun Bajulmati agar anak-anaknya memperoleh pendidikan yang layak. Menurut arus utama cara berpikir manusia modern Anda ini lalar gawe, ngapain peduli dan ngopeni nasib masa depan orang lain. Sedangkan atas semua pekerjaan ini Anda tidak memperoleh keuntungan materi sepeser pun. Di mata manusia modern Anda adalah manusia-manusia bodoh, yang lalar gawe bekerja dengan satu kepastian: tidak menghasilkan uang bahkan harus mengeluarkan uang.”

Pasukan Lalar Gawe kali ini adalah sejumlah guru yang mengajar di sebuah sekolah dasar swasta di Jombang. Sahabat-sahabat saya ini - maaf - semuanya orang miskin. Gajinya kecil. Cicilan motor belum lunas. Berangkat ke Bajulmati dengan biaya sendiri. Ada yang rela potong gaji. Namun dari sikap yang peduli dan kesanggupan berbagi mereka adalah manusia kaya raya dalam makna yang sesungguhnya.
Kondisi TK Tunas Harapan Goa Cina

Guru-guru yang dipelopori oleh sahabat saya, Sayekti Puji Rahayu, akan berbagi kepada para guru Harapan Bajulmati, wali murid, dan warga dusun tiga puluh permain brain-gym, lima belas materi outbond, dan metode belajar membaca untuk anak-anak.

Antusias warga dan guru-guru Harapan Bajulmati sungguh luar biasa. Mereka memenuhi ruang terbuka balai dusun.  Mulai anak-anak pelajar SMP-SMA, para pemuda, ibu-ibu dengan menggendong bayi, bapak-ibu yang usianya cukup tua, duduk melingkar dalam satu jamaah kebersamaan.

Acara dimulai dengan sambutan pembuka dari Bapak Shohibul Izar.
“Bapak Ibu guru jauh-jauh datang dari Jombang saya yakin tidak mencari uang di sini. Bahkan mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Di sebelah saya ini ada tumpukan modul yang berisi materi yang akan kita kita pelajari bersama selama tiga hari. Semuanya gratis. Saya salut dan sangat berterima kasih kepada Bapak Ibu guru yang rela berbagi ilmu dan pengalaman untuk memajukan pendidikan di Bajulmati.”

Di tengah sambutannya Pak Izar juga menyampaikan bahwa di saat tertentu kita adalah murid dari guru kita dan di saat yang lain, atau saat itu juga, guru kita bisa menjadi murid. Agar mudah dipahami oleh warga dusun, Pak Izar memakai istilah “guru yang murid, murid yang guru.”

“Misalnya kepada siswa TK Harapan,” ujar Pak Izar. “Mereka adalah murid saya, dan di saat yang sama saya juga belajar kepada mereka. Siswa TK Harapan adalah juga guru saya. Kepada anak-anak TK saya belajar menemukan model belajar yang menyenangkan bagi mereka.”
Menikmati keasrian rumah salah satu pengabdi Harapan Bajulmati, Ust. Wagianto

Mahbub Junaidi tidak ingin ketinggalan memberikan penjelasan terkait guru yang murid, murid yang guru. Pak Mahbub lantas menyebut satu nama warga yang hadir di balai dusun: Bapak Bugiman.

“Dalam hal mempelajari cara cepat bisa membaca untuk anak-anak, malam ini Pak Bugiman adalah murid sahabat-sahabat saya dari Jombang. Namun besok pagi, saat Bapak Ibu guru dari Jombang menyusuri sungai Bajulmati, mereka akan menjadi murid Pak Bugiman. Demi kelancaran dan keselamatan selama susur sungai, Bapak Ibu guru dari Jombang akan mengikuti panduan dan arahan Pak Bugiman karena beliau pakar dalam mengenal watak alam dusun Bajulmati. Pada saat itu Pak Bugiman menjadi guru kita,” papar Mahbub Junaidi.

Waktu itu istilah guru yang murid, murid yang guru tidak mengusik saya. Sikap rendah hati dari sosok Pak Izar dan Pak Mahbub saja hingga istilah itu diungkapan, demikian pikir saya.
Menikmati Wisata Sususr Sungai bersama Lepen Bajulmati Adventure

Dan untuk kesekian kalinya pengalaman berbagi di dusun Bajulmati bagi saya seperti pintu masuk menuju ruang kesadaran yang terus tumbuh mengakar. Bagaimana tidak? Istilah “guru yang murid” dan “murid yang guru” saya temukan dalam tulisan J. Sumardianta yang mengulas gagasan-gagasan Paulo Freire (1921-1997, ahli pendidikan dari Brasilia.

Gagasan-gagasan Paulo Freire, yang dilambari semangat pembebasan dan kesadaran kritis dengan pendekatan emansipatoris (menyantuni dan berbelas kasih kepada peserta didik) dan metode partisipatoris (penempatan peserta didik sebagai subjek dalam kegiatan belajar, tersebar dalam Padagogy of The Oppressed (1971), Pedagogy in Process (1978), dan beberapa buku lainnya.

Menurut Paulo Freire sekolah terlalu sibuk mengurusi kotoran ketimbang memberdayakan guru dan murid. Ia lantas mengajukan alternatif kegiatan belajar dialogis dengan langgam hadap masalah. Guru tidak lagi memperlakukan muridnya sebagai bejana kosong (empty vessel) yang mesti dijejali dengan berbagai pengetahuan kognitif. Guru dan para muridnya secara bersama-sama duduk semeja mengkaji keprihatinan hidup sehari-hari. Keduanya secara komplementer melakukan kegiatan belajar. Guru bukanlah makhkluk yang maha tahu. Dan, otak murid yang sebenarnya sudah tumpat pedat tidak perlu dijejali dengan pengetahuan hafalan.

Dari sini Paulo Freire memunculkan istilah unik: “guru yang murid” dan “murid yang guru”. Istilah ini digunakan untuk menegaskan bahwa baik guru maupun murid memiliki potensi pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman sendiri-sendiri terhadap yang mereka pelajari. Bisa jadi suatu saat murid menyajikan pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman sebagai suatu kilatan cahaya hikmah bagi sang guru.

Kepada beberapa teman saya berseloroh, mungkin Paulo Freire pernah singgah di Bajulmati sehingga ada pertemuan antara gagasan dan realita pemberdayaan pendidikan di sana. Saya juga tidak tahu pasti dari mana Pak Izar dan Pak Mahbub menemukan istilah unik itu. Satu hal yang saya alami di dusun terpencil dengan akses informasi yang sulit itu, gagasan Paulo Freire menemukan wujudnya di Bajulmati. []


Thursday 17 October 2013

Paket Wisata Penuh Sensasi Di Bajulmati Malang

Lepen Bajulmati Advenenture, digagas oleh guru-guru di lingkungan lembaga pendidikan Harapan Bajulmati (19 orang) yang kesemuanya tidak ada gajinya dari manapun, maka untuk 'berdaya dari diri sendiri' mereka mendirikan aktivitas di dunia wisata dg memanfaatkan alam Bajulmati yang telah dianugrahi Alloh SWT untuk disyukuri. mudah2an kegiatan ini bisa bermanfaat bagi guru-guru di Bajulmati agar mereka tetap istiqomah dalam mengabdi untuk bangsa ini dalam mengadakan perubahan. Amiiin